mana sandalmu?
itu, ayah.. di atas atap.
siapa melakukan?
ini temanku, dia usil.
hari itu senin 26 sept 2016, jam 5 sore lewat 20 menit. aku terpaksa kerja mengeluarkan meja guru, meja siswa dan kursi siswa. aku minta bantuan kepada guru sekolah ngaji si ozat.
tiga peralatan tadi kami bawa mengarah ke sandal di atas atap. sekitar lima belas menit kerja yang tak perlu di kerjakan ini akhirnya selesai.
Thursday, September 29, 2016
Sunday, September 25, 2016
cinta negeri lewat perjalanan ke sabang
Perjalanan Dumai ke Sabang (nol kilometer Indonesia
bagian Barat)
Tanggal empat belas Juni dua ribu enam belas
waktu itu setengah dua siang Waktu Indonesia Bagian Barat. Aku dijemput temanku
Salman Effendi dengan mobilnya Xenia 1000CC. sampai di rumah ku jalan Abdul
Rabkhan, aku memasukkan barang-barang bawaan ke Sabang propinsi Aceh.
Kumasukkan barang-barang ke bagasi xenia berwarna abu-abu.
Di dalam mobil ada Aku, Temanku, Istri ku,
istri temanku, seorang anak laki-laki teamanku berumur 6 tahun, dan anaknya
berumur 1 tahunan laki-laki. Sementara aku membawa anak pula satu laki-laki
berumur 8 tahun dan anak perempuanku berumur 4 tahun.
Kami berangkat dimulai dengan memberikan
kunci ke rumah temanku kembali lagi ke rumahnya. Dan kami berangkat dengan
bismillah semoga Allah melindungi perjalanan kami. Lupa memberikan kunci adalah
simbol kealpaan manusia yang semestinya jika berangkat meninggalkan rumah
semestinya tidak perlu kembali ke rumah. Semestinya dan sebaiknya namun itulah
manusia.
Kami sampai di bagan batu sekitar jam
setengah lima sore. Bagan batu sebagai kota perbatasan Propinsi Riau kota
kecamatan dari kabupaten Rokan Hilir yang ibu kotanya Bagan Siapiapi. Di Bagan
batu kami sholat di masjid Agung. Masjid ini punya ciri khas tempat wudu’ yang
curam kebawah. Untuk berwudu’ kami harus menurunkan langkah kaki sekitar lima
belas anak tangga kebawah. Di sekitar tempat wudu’ ada orang berjualan
perlengkapan sholat, buku Islami, tasbih dan minyak wangi. Setelah sholat
a’shar kami rehat sejenak sekitar lima belas menit. Selanjutnya kami
melanjutkan perjalanan.
Sebentar lagi hari akan menjelang malam,
maghrib di setengah jam sebelum rantau prapat. Kami berbuka puasa di sebuah
rumah makan diluarnya ada lesehan rumah makan ini dekat dengan masjid. Minum
sedikit dan makan kue kami sholat maghrib berjamaah. Perut pun lapar mengajak
kembali ke rumah makan tadi. Kami jadikan tempat memenuhi nafsu makan minum
kami yang sedari tadi dahaga.
Kami mengira habis satu jam menghabiskan
waktu di tempat melepaskan dahaga dan tempat makan diringi pula sebagai tempat
bermain anak-anak ku dan anak-anak teman ku. Setelah membayar makan kami
bergegas ke xenia, dan ternyata temanku bernama Salman Efendi memberikan kunci
mobilnya. Itu pertanda dia sudah lelah minta bergantian untuk mengemudi mobil.
Cahaya lampu mobil sudah terang itu tandanya
malam segera datang. Mobil ku bawa sekitar enam puluh sampai tujuh puluh
kilometer per jam. Agak laju dari pada temanku bawa mobil. Maklum aku ingin
segera cepat sampai ke kota berikutnya yaitu Rantau prapat. Ibu kota dari
kabupaten labuhan batu propinsi sumatera utara yang dulunya pernah jadi kota
Madya. Kini kembali menjadi kota kabupaten.
Kami sampai jam delapan malam lebih kurang di
Rantau Prapat, dan singgah di rumah saudara istri temanku, katanya itu rumah
kakak kandungnya. Suaminya orang disegani pemuda di kota itu. Kami minum teh
dan sedikit kue dan melanjutkan perjalanan. Terasa rindu antara kedua kakak
beradik ini teramat singkat karena kebutuhan perjalanan kami. Mestinya
kerinduan mereka setidaknya diisi dengan satu malam. Namun tak apa karena
kerinduan mereka baru berusia tiga bulan lalu tak bersua.
Hari hampir jam setengah dua belas malam, dari
jalan lintas sumatera kami belokkan Xenia ke kanan. Kami mendapatkan penginapan
di kota Kisaran ibukota kabupaten Batu bara propinsi Sumatera Utara. Harga per kamar Rp. 150.000 dengan fasilitas
ac,kamar mandi di dalam, tv dan bonus satu bed untuk anak-anak saya. Bagaimana
isi kamar teman saya Salman saya tak ingin pula tahu.
Tiba-tiba kami dibangunkan oleh petugas
hotel, ini menandakan waktu sahur telah tiba, waktu sahur itu artinya waktu
makan untuk persiapan menahan makan dan minum selama lebih kurang tiga belas
jam. Jika itu waktu di Indonesia, konon di lain negara ada yang lebih lama dari
itu.
Aku bangun dengan segera dan meminta nasi
goreng 4 untuk aku, keluargaku dan untuk keluarga temanku. Ternyata jawaban
petugas hotel kurang memuaskan, katanya hotel tidak menyediakan makan sahur.
Sila cari di sebelah hotel. Itu jawaban petugas. Aku telepon temanku untuk mencari makan dan
minum sahur di sebelah hotel bersama-sama. Setelah kami menemukannya ternyata
tidak ada yang kami inginkan. Kami terpaksa mencari lebih jauh lagi dari hotel.
Kami menemukannya sekitar dua ratus meter
dari hotel, kami pesan empat bungkus nasi goreng dan empat bungkus jus pokat
dapat dengan harga yang masih bersahabat sekitar tujuh puluh ribu rupiah. Kami
bergegas dan setelahnya kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju kota
Medan.
Hari saat ini habis subuh waktu kota Kisaran.
Kami isi bensin untuk Xenia seharga dua ratus ribu, selanjutnya kami pacu
dengan segera ke kota Medan melewati tol amplas sekitar sepuluh menit kami
sampai di ujung jalan tol dengan membayar uang pas seharga dua ribu lima ratus
rupiah.
Kami sudah sampai di kota Medan, ibu kota
propinsi sumatera utara. Kota dengan predikat no tiga di Indonesia setelah Jakarta
dan Surabaya. Atau kota paling ramai dan paling macet di pulau sumatera.
Keadaan sangat macet. Hampir tidak ada sela untuk bisa dilewati pejalan kaki
jika ingin menyeberang diantara mobil yang satu dengan mobil yang lainnya. Saat
itu jam sepuluh pagi.
Kendaraan melaju setelah melihat ujung kota
kearah kota Binjai, keadaan sudah tidak semacet tadi. Setelah binjai kami akan
segera tiba di kota Stabat. Sampai disana kami rehat di masjid agung Stabat
maklum anak-anak sudah mulai lelah dan gelisah di dalam mobil. Kami istirahat
dari jam sebelas sampai jam dua belas siang.
Perjalanan di lanjutkan menuju Aceh. Driver nya adalah temanku yang punya mobil. Tak
sampai setengah jam setelah perjalanan kami diberhentikan oleh polisi bernama A.R
Sem*****g rupanya dari tadi ia mengejar kami.
“Siang pak, mau kemana?” dia bertanya.
“mau ke Aceh.” Jawab Temanku.
“ada STNK dan SIM?”
Temanku melihatkan SIM dan STNK nya kepada
Polisi tersebut.
“bapak tau salahnya?’
“tak ada salah, saya pak,”
“bapak melanggar lampu merah.”
“mana ada saya langgar, pak saya berjalan
lampu hijau pak.”
“lampu hijau untuk pejalan kaki, pak silakan
ke pos di lampu merah pak.”
Sumpah
demi tuhan kami tak ada melanggar lampu merah. Kami berani minta buktinya.
Beginilah kerja polisi di sumatera utara. Sepanjang jalan dari menuju
perbatasan Riau sampai ke perbatasan Aceh, banyak sekali pos yang berkedok
pemeriksaan, namun ujung-ujungnya uang. Pengalaman pahit ini saya rasakan juga
dirasakan pula mobil dengan plat B***** sebuah mobil mini bus dengan nomor
polisi di luar sumatera.
Saat kami di proses di kantor pos Stabat,
oleh An**** yang ditemani Si****** maka
yang lainnya yaitu polisi yang memberhentikan kami tadi namanya A.R Sem******
tegak di depan pos dekat lampu merah disampingnya sepeda motor khusus untuk
pengejaran. Apa yang salah dari kerja mereka? Sepertinya sengaja mencari
kesalahan pengemudi. Pada saat lampu hijau, pengemudi jalan. Namun setengah
badan mobil sudah melewati lampu hijau, ternyata sudah nyala lampu merah.
Moment setengah badan mobil saat lampu merah ini di gunakan untuk mencari
kesalahan si mobil bernomor polisi B.
Jika di runut apa kesalahan kami, tentu tidak
ada. Kami berada paling depan di traffic
light. Sementara ada tiga lagi mobil di belakang kami. Mengapa mobil kami
yang dari riau di berhentikan. Itu pun
setelah lebih tiga kilo meter dari traffic
Light Stabat kami di berhentikan.
Jika dilaporkan pada Propam Polri maka petugas tersebut dikenakan sanksi atas
kerjanya dengan sengaja mencari-cari kesalahan masyarakat. Itu melawan kode
etik polri. Semoga kapolri baru dapat membenahi polisi di sumatera utara.
Seperti kasus yang kami alami yaitu mencari-cari kesalahan pengemudi.
Akhir dari cerita di pos polisi Stabat, STNK
teman saya tetap ditahan. Pergi ke Aceh dengan membawa surat tilang polisi yang
suka mencari kesalahan pengemudi. Kasihan nasib anda polisi jika suka
mencari-cari kesalahan masyarakat demi sesuatu.
Bagaimana dengan STNK teman saya? Nanti saya
ceritakan setelah pulang dari Sabang, pulau Weh-Aceh.
Habis juga satu jam urusan kami dengan
polisi. Kami melanjutkan perjalanan dengan pikiran muak pada polisi seperti
itu. Namun dengan pikiran lain bahwa itulah kerja polisi memeriksa, menertibkan
hukum itu dasarnya.
Setelah berurusan agak lama memakan waktu,
mobil dikemudikan ke arah perbatasan aceh tepat di suatu masjid kuala Simpang. di kabupaten aceh tamiang kalau
tak salah, kami rehat dan sholat ashar, kami kira kami terlalu lama terlambat
sholat, ternyata masi sempat jadi makmum yang terlambat. Itu diperkirakan
perbedaan waktu sholat di kota Dumai dengan Aceh tamiang sekitar dua puluh
menit lebih lambat tempat yang kami kunjungi ini.
Setelah sholat ashar kami bergegas dan sampai
di daerah Pidi, Xenia minum lagi seharga dua ratus ribu rupiah. Kami rehat pula
sejenak mengurus anak masing-masing. di pengisian bensin sempat berbincang
sejenak dengan perempuan aceh yang manis. Bercerita tentang jam berbuka puasa,
dia mengatakan bahwa berbuka jam enam yang jarumnya dekat angka sebelas. Itu
kami tafsirkan sebagai jam enam lewat lima puluh lima waktu Indonesia bagian
barat.
Sepanjang daerah ini kami menemukan pedagang
menjajakan dagangannya tebu atau kelapa muda untuk berbuka puasa. Begitu
pemandangan di tepi jalan lintas aceh. Di kota nya betul di Pidi ramai sekali
orang berbelanja untuk berbuka. Namun karena waktu ada sekitar lebih setengah
jam lagi menuju berbuka kami putuskan untuk berbuka di mesjid tepi jalan raya.
Kami membeli es tebu, harganya dua ribu lima ratus rupiah per bungkus. Untuk
menemani minuman ini, ditambah pula dengan serba kue dan gorengan.
Sampai di mesjid. Pas pula waktunya berbuka.
Kami minum es tebu dan makan kue yang kami beli tadi tentu tidak lupa membaca
doa. Allahumma laka sumtu wa bika amantu wa rizkika aftartu birah mati ka ya ar
hamarraahimiin. Allahumma bariklana fii ma razaktanaa wakinaa azaa bannaar.
Di ujung plataran masjid orang-orang keluar
dari pondok setelah kemudian kami mengetahui itu namanya Masala. Pondok tempat
makan dan minum berbuka puasa dan mungkin urusan lainnya. Salah seorang dari
mereka masuk masjid duluan untuk mengumandangkan azan. Kami yang berkumpul di
teras masjid bersama dua keluarga tentunya masih asik menikmati makan dan minum
berbuka puasa.
Azan usai. Kami sholat berjemaah, setelah
sholat berjemaah ada yang beda bacaannya: zikirnya setelah berdoa ada bacaan
sholawat sekitar beberapa menit, masih dalam keadaan duduk. Kami merasa ada
yang beda di serambi mekah ini. Tentu pengalaman baru.
Abis dari masjid kami mencari rumah makan.
Rupanya tak jauh dari masjid ada pula masjid raya Untuk menemani minuman ini, ditambah pula
dengan serba kue dan gorengan.
Sampai di mesjid. Pas pula waktunya berbuka.
Kami minum es tebu dan makan kue yang kami beli tadi tentu tidak lupa membaca
doa. Allahumma laka sumtu wa bika amantu wa rizkika aftartu birah mati ka ya ar
hamarraahimiin. Allahumma bariklana fii ma razaktanaa wakinaa azaa bannaar.
Di ujung plataran masjid orang-orang keluar
dari pondok setelah kemudian kami mengetahui itu namanya Masala. Pondok tempat
makan dan minum berbuka puasa dan mungkin urusan lainnya. Salah seorang dari
mereka masuk masjid duluan untuk mengumandangkan azan. Kami yang berkumpul di
teras masjid bersama dua keluarga tentunya masih asik menikmati makan dan minum
berbuka puasa.
Azan usai. Kami sholat maghrib berjemaah,
setelah sholat berjemaah ada yang beda bacaannya: zikirnya setelah berdoa ada
bacaan sholawat sekitar beberapa menit, masih dalam keadaan duduk. Kami merasa
ada yang beda di serambi mekah ini. Tentu pengalaman baru.
Abis dari masjid kami mencari rumah makan.
Rupanya tak jauh dari masjid ada pula masjid raya. Xenia kami hentikan untuk
makan nasi bersama. Ciri khas makan di sini adalah terasa sedikit asin dengan
tanpa santan seperti di minangkabau atau di sumatera barat.
Perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan
berikutnya. Hari sekitar jam delapan malam hari rabu tanggal lima belas juni
dua ribu enam belas. Sepanjang jalan kami melihat rumah penduduk di tepi jalan.
Ini artinya kami tak bisa melaju dengan kencang seperti di perbatasan riau dan
sumut atau di labuhan batu.
Banyak nama daerah kami lewati, dari aceh
tamiang, aceh timur, Louksomawe sampai diperhentian pengisian bensin di Aceh Besar.
Selama di aceh kami tak menemukan polisi yang suka cari kesalahan masyarakat.
Di aceh AMAN dan NYAMAN. Itu perlu di catat. Kami bangga padamu Aceh.
Di perhentian pengisian bensin Aceh Besar
kami rehat minum hangat dan makan ringan. Sholat Isya dan meluruskan badan.
Waktu saat itu sekitar jam nol nol. Hari sudah kamis dini hari. Xenia kami gas
kembali menuju destinasi berikutnya. Kami melewati bukit-bukit seperti di jalan
sumatera barat dari rantau ke kelok sembilan. Namun tak selama itu. Hanya sekitar
setengah jam. Setelah itu jalan lurus yang penuh dengan rumah penduduk.
Jam setengah lima pagi kamis tanggal enam
belas juni dua ribu enam belas. Kami makan sahur di pinggir kota Banda Aceh.
Menu yang tersedia yang kami makan antaralain martabak telur, nasi goreng, mie
goreng dan nasi sambal ikan dan ayam. Makan di pinggiran kota Banda Aceh
lumayan merogoh kocek. Seharga 70 ribu. Imsyak pun tiba sekitar jam empat lima puluh satu kami pacu kembali Xenia
ke kota Banda Aceh.
Sampai di sana kami telat untuk sholat subuh.
Mencari penginapan di sekitar Masjid Raya. Kami dapat home stay dengan harga
seratus lima puluh ribu untuk kamar ber Ac tanpa tv, kamar mandi dalam.
Sementara kamar yang satunya lagi seharga seratus dua puluh ribu rupiah, tanpa
tv, kipas angin dan kamar mandi di luar. Hanya ada kamar itu di home stay yang
berada tepat di depan hotel 61 kota Banda Aceh. Kami istirahat jam enam pagi
dan harus bangun jam tujuh untuk melanjutkan perjalanan ke kota Sabang kota
paling barat Indonesia.
Setir mobil kami arahkan ke pelabuhan dengan
gps dan kadang kami bertanya dengan warga akhirnya sampai ke pelabuhan. kami
sampai lebih dari waktu yang ditentukan sekitar tiga puluh menit dari dua puluh
menit yang di infokan oleh petugas Home Stay. Masuk di pelabuhan ini membayar
uang parkir kendaraan di pos masuk. Bertanya sejenak kepada petugas dan
mendapatkan info di mana posisi mobil. Sampai di parkiran. Sudah sampai – info
terbarunya adalah mobil tidak bisa masuk ke kapal ferry karena penuh. Jadi,
kami meninggalkan Xenia di pelabuhan.
Di loket sudah terjadi antrean panjang
seperti ular. Padahal petugas belum ada. Satu jam mengantre berdiri tegak. Satu
tiket seharga delapan puluh lima ribu rupiah. Kami menunggu keberangkatan
sekitar setengah jam. Alhasil berangkat jam setengah sepuluh pagi.
Perjalanan laut dari Pelabuhan Banda Aceh ke Pelabuhan Sabang Sekitar empat puluh menit. Hamparan laut hijau, bening dan terkadang biru menambah kesenang pikiran di hati. Selalu menyenangkan selama di perjalanan laut. Karena fasilitas kapal ferry ada tv, ac dan toilet. Menyenangkan perjalanan di laut meski terkadang terpikir seandainyai ada ombak besar bagaimana? Seandainya kapal tenggelam bagaimana? Namun saya serahkan kepada Tuhan sang pencipta pemilik nyama.
Sampai di pelabuhan Sabang kami langsung
disambut para supir mobil travel dengan pertanyaan mau kemana? Dan macam-macam.
Akhirnya jatuhlah pilihan kami pada supir dengan mobil kijang super seharga
empat ratus ribu rupiah. Ternyata cerita-cerita ia tinggal tak jauh dari
pelabuhan ini dan penduduk lama.
Memulai kota sabang diawali dengan
pendakian-pendakian yang tajam. Tempat foto pertama adalah pada tulisan I love
Sabang dengan tulisan sebesar badan manusia. Sehingga bisa foto bersama dua
keluarga dari kami. Kijang super diparkirkan di sekitar ikon Sabang ini dan
kami jadikan supir jadi photographer kami.
Sabang berada di pulau weh, kami
mengelilinginya cukup satu jam sudah dapat melihat tepian pulau weh dengan
melihat tepian pantai yang indah. Melihat nol kilometer Indonesia bagian barat.
Nol kilometer di Sabang ada dua. Yang satu tugu garuda kabarnya ada di
pemerintahan Soeharto dan yang satu lagi tiga kilometer lagi dari tugu garuda
yang bertuliskan Nol Kilometer sedangkan tugu garuda disebut tugu kembar –
satunya lagi di Merauke.
Labels:
aceh,
gedung sunami,
nol kilo meter,
sabang sebelum merauke,
tugu garuda
Subscribe to:
Posts (Atom)