Puisi. 09.12.2018
Baju merah itu memberhentikan aku
Tak peduli sembari ku pikir siapa
Ku balikkan karisma tanya telah terjawab
Air mata baju merah mengalir deras
Aku adalah teman mozart
Akibat mama lama menjemput
Patah tulang belulang air mata hasilnya
Di bukit datuk air mata terhenti
Demikianlah.
Saturday, December 8, 2018
Wednesday, December 5, 2018
Dendam Dan Harapan: Secuil Kisah Aledya dan Ayat Di Sekolah
(Segera jadi buku ke-2)
“Saya dimusuhi teman-teman dikelas, pak.
Meski saya dipercaya guru untuk menulis siapa saja yang ribut di dalam kelas,
saat orang-orang di kelas tidak mau menulis tugas, keluar dari kelas dan
melaporkan semua kejadian di kelas ini pak. Dia yang sering berbuat gaduh di
kelas, mengejek saya Dandel, sampai
pada akhirnya dia bermasalah dengan
seorang guru, saking dendamnya dia branding
nama buk Azil kepada saya pak. Dia memang paling bandel di kelas kami, dan
itu sejak kelas 7. Saya sebagai teman sudah memberikan saran agar dia merubah
sikap bandelnya pak. Namun sampai kini dia belum bisa menjadi murid baik”.
Aku sedang mendengar pengakuan Aledya,
murid perempuan kelas 8. Perempuan berhijab,hitam manis, belasan tahun dengan
suara pelan, nyaris tak terdengar, namun cukup jelas kata per kata yang
diucapkannya hingga kuingat kejadian 29 Nopember 2018. Pengakuannya di depan
empat orang teman sekelasnya membuat aku percaya karena kejadian dendam tak
berkesudahan ini telah terjadi sejak zaman nabi Adam hingga kejadian pegawai
KPK disiram air keras akibat resiko pekerjaan menegakkan kebenaran. Kejadian
yang dialami Aledya lebih kurang serupa namun beda kasus saja dengan dendam
anak nabi Adam dan Baswedan pegawai KPK. Itu yang membuat aku percaya atas
pengakuan Aledya sebagai pelapor keadaan sikap teman-temannya saat guru tidak
ada di dalam kelas. Jelas! Pekerjaan Aledya penuh resiko kepadanya hingga suatu
kejadian terjadi saat belajar seni budaya kemarin.
“Pandai kau bohong, ya!!” suara seorang
murid laki-laki menyela sebelum Aledya menyelasaikan pengakuannya pada kalimat
“saking dendamnya dia branding nama
buk Azil kepada saya pak” kepadaku. Seorang murid terlapor dengan kulit sawo
matang, ganteng, relatif tinggi dari rerata teman-temannya di kelas.
Teman-teman di kelasnya memanggilnya Ayat. Suara Ayat begitu keras, saat dia
membela diri, mukanya merah, bibirnya menggigil mengucapkan “pandai kau
berbohong”, matanya melotot membesar, hormon marah epinefrin, serotonin dan
testosteronnya tak stabil.
“Tolong ingat aturan ngobrol kita. Nanti
kamu bicara sepuasnya sesudah Aledya menyelesaikannya”. Ayat terdiam
menundukkan kepalanya sambil melipat kaki, duduk bersila yang sedari tadi
menghadapkan telapak kakinya kearah Aledya, dan lututnya di hadapanku. Hingga
akhirnya Aledya melanjutkan dan menutup kalimat dari sebagian pengakuannya.
Kejadian ini bermula setelah aku dan
murid kelas 8 bermain sebelumm belajar. Konsep bermain selalu ku lakukan agar siswaku
tidak shock menerima pelajaran yang
akan kuberikan. Permainan sebelum belajar setidaknya sebagai bentuk apersepsi
bebas yang mengantarkan siswaku kepada pelajaran seni yang konon pelajaran seni
budaya katanya paling gampang, itu kata orang yang tidak kuliah dibidang seni, wkwkwk. Kenapa gampang? Karena ada aja
pihak yang mendeskreditkan pelajaran seni, dengan mengatakan kenapa nilai siswa
rendah? Itu salah satu bentuk kalimat yang sering kudengar. Ada lagi kalimat, nilai
ekskul Pentas Seni tak usah dimasukkan ke dalam rapor. Btw aku tak membahas deskriminasi pelajaran seni. Aku ingin
melanjutkan kisah muridku Aledya dan Ayat.
Usai bermain stick drum, wajah sumringah
Aledya, Ayat dan siswaku tampak jelas ditambah tawa dan senyum mereka saat
memainkan stick drum. Kenapa bisa
begitu? Saat mereka memainkan stick drum dari pukulan lambat ke pukulan kencang
tiba-tiba mereka tertawa seakan senang mendapatkan makanan saat lapar. Mungkin
setelah kisah ini kuselesaikan, segera kubuat penelitian mengapa siswa tertawa
dan terkesan senang. Bisa jadi senang melihat perubahan stick drum dari lambat
ke kencang terjadi bias bayangan stick drum dan akan bervariasi melihat gerakan
serempak stick drum. Tentang permainan stick drum ini tentu kulanjutkan menjadi
penelitian, terlebih ini telah kulakukan sejak tahun 2013.
Disudut kelas, Lirsaf, seorang murid
yang berbadan tegap, paling besar di antara teman-temannya, muram tak bermaya,
tak ada sumringah di muka, tertawa seperti murid lain. Dugaan ku Lirsaf
kecanduan narkoba atau salah satu murid yang telat tidur malam. Mukanya yang
sawo pekat, bibirnya yang hitam seperti kecanduan merokok. Meski ini baru
dugaan berdasarkan bentuk fisiknya. Berharap Lirsaf tidak demikian.
“Lirsaf, kamu mengapa melamun?” belum
kutambahkan kalimat berikutnya, Ayat menambah “dandeeeeel”. Dari sudut timur
kelas, seorang murid angkat bicara, bahwa dia tak menerima dikatakan “dandel”.
Aledya dengan muka sedih memohon untuk tidak dipanggil dandel. Aku terima
permohonan Aledya yang berharap demikian namun dalam pikiranku ini persoalan sepele
yang membesar dikemudian hari jika dibiarkan.
“Akan kita bahas setelah belajar”. Aku
sampaikan kepada Aledya dan Ayat. Kemudian aku tambahkan pula saksi untuk
membenarkan pernyataan mereka nanti.
“Ayat, Aledya, cari saksi kalian untuk
menyatakan kebenaran informasi yang akan kalian sampaikan”. Aku mengajak siswa
yang bermasalah itu mendiskusikan dan menyelesaikan masalah mereka. Itu terjadi
saat aku mengajar. Saat Lirsaf melamun, saat semua siswa bahagia, dengan tanda
senyum dibibir mereka di laboratorium seni berukuran 7 meter x 5 meter. Memang
kuakui labor seni sebagai tempat penggoda siswa untuk selalu dikunjungi siswa,
meskipun belum lengkap penggoda itu, namun ternyata fakta membuktikan setiap
istirahat ruangan ini didatangi siswa dan setiap kegiatan non klasikal, puluhan
siswa mencari alasan minta izin untuk mendatangi ruangan ku ini, lagi-lagi
meskipun ada kekurangan ruangan ini, penyejuk ruangan yang tak berfungsi. Upss
belum ada.wkwkwk. apa dan mengapa
sebagai penggoda siswa untuk datang ke laboratorium seni, dibagian paragrap dan
halaman lain akan ku ceritakan lagi.
Pelajaran teater telah usai, dan
kisi-kisi soal seni telah diberikan. Bel sederhana di sekolahku telah berbunyi
menandakan pelajaran berikutnya berganti. Bel rumah, pada speakernya
ditempelkan micropone. Sementara itu siswa kelas 8 yang kuajar masuk ke
kelasnya dengan beragam ekspresi dimuka. Ada pula diantara mereka harus
membayar hutangnya sebagai murid yang piket menyapu lantai lab seni disebab tak
tertib. Kecuali itu, siswa lain mengintip tanda kepo apa informasi dibalik
istilah “dandel" yang diucapkan Ayat yang membuat Aledya tak menerima
dengan sebutan itu. Ku dekati murid kepo itu, kutanya dan mereka menjawab
seadanya, namun kututup dengan meminta tolong sampaikan kepada guru yang
mengajar saat ini, Ayat, Aledya dan empat orang saksi akan diproses oleh pak
Zulen, itu sebutan aku. Mereka yang kepo mengiyakan tugas yang ku berikan.
“Ke sini kalian. Kamu Aledya dan saksimu
di sebelah kanan bapak. Kamu Ayat dan saksimu di sebelah kiri bapak. Aturan
bicara kalian, yang bapak beri kesempatan untuk menyampaikan informasi
dibutuhkan. Jika tidak, jangan bicara apalagi menyela. Saat bicara,
sampaikanlah informasi yang benar dan sampaikan semuanya secara lengkap.
Jelas?” mereka mengiyakan.
Awalnya Aledya bercerita yang telah
sempat dibantah oleh Ayat, dan telah kuingatkan Ayat untuk tidak menyela,
sementara itu, Aledya melanjutkan pesan dari pikirannya untuk menyampaikan
yang tak kuduga.
“Pak, saya kenal dengan Ayat sejak kelas
7, dan saya tahu tentang keluarga Ayat yang baik ketika Ayat sakit, kami
mengunjunginya. Tak tampak tanda bahwa Ayat seperti ini di sekolah yang guru-guru
bilang Ayat murid bandel, tak sopan, tak ada etika, pokoknya tak
beretikalah...” Aledya mengingatkan kejadian tempo lalu saat Ayat dan Aledya di
kelas 7. Saat mereka diajarkan tata tertib sekolah, saat di mana siswa
melakukan self branding atau
menampakkan bahwa dirinya berkepribadian baik, dipandang cerdas, dipandang
sebagai siswa yang taat kepada tuhan yang kuasa, siswa yang dipandang sebagai
orang yang rajin gotong royong, dan siswa yang dipandang sebagai murid yang
rajin piket, pokoknya the best student
lah.
Aledya puas bercerita dari puncak
masalah, asal masalah hingga Aledya ingin menyampaikan harapannya.
“Saya berharap, Ayat tidak mengejek saya
lagi, apalagi mengatakan saya dandel, sopan dengan guru-guru, baik dengan
teman-teman.” Singkat saja harapan saya pak. Sakit hati saya pak. Tak hentinya
dia mengejek saya. Padahal saya cuma melakukan apa yang disuruh guru. Menulis
nama siswa yang tidak mau mengerjakan tugas, sering keluar kelas, sering
jalan-jalan di dalam kelas, siswa yang berkata kotor, yang tidak piket, pakai
sepatu les putih, yang tidak sesuai dengan ketentuan sekolah, dan karena
pekerjaan ini saya dimusuhi pak.” Aledya menjelaskan pekerjaannya yang banyak
itu sebagai pelapor kepada gurunya, namun hebatnya Aledya, murid hitam manis
ini tidak mau menyebutkan nama gurunya.
Pengakuan Aledya menambah deretan
pengalamanku saat mengajar di salah satu SMA dulu di Kota pelabuhan terpanjang
di Indoneia, ketika itu aku diterima jadi PNS jalur umum, dua tahun kemudian ,
waktu itu tahun 2011, sesudah aku memaparkan di depan forum bahwa sudah saatnya
sekolah ini menggunakan teknologi komputer untuk menulis nilai yang otomatis
menjadi rapor. Setelah penyampaianku, seorang wakil kepala sekolah bidang mutu,
menyampaikan keluhannya dalam forum, bahwa dia tidak sanggup melakanakan tugas
dari Kepala Sekolah, yang menulis guru-guru terlambat datang ke Sekolah,
terlambat mengantarkan administrasinya. Terlihat airmatanya menetes sebagai ibu
tipikal penyayang, membuat haru suasana di dalam forum rapat. Demikian pula
kejadian sama pada Aledya yang ditugaskan oleh guru untuk menulis siswa yang tidak
mau tertib, tidak memiliki etika dan siswa yang kasar bersikap sesama teman.
Kini, kutanya saksi dari pihak Aledya,
dua orang temannya bersumpah adalah benar yang disampaikan oleh temannya
Aledya, terlepas dari kedekatan antara mereka bertiga. Kejujuran dari
spontanitas dan cara mereka menyampaikan kebenaran menjadi nyata bahwa apa yang
mereka dengar dari Aledya dan membenarkan semua perkataan Aledya merupakan
postulat yang tak perlu kucari kebenarannya.
Setelah saksi dari pihak Aledya, Ayat
yang sedari tadi menahan emosi marah akibat tidak seimbangnya hormon dalam
tubuhnya: hormon marah epinefrin, serotonin dan testosteronnya tak stabil itu,
terlebih sepanjang pengakuan Aledya dan saksi, membuat Ayat tunduk saja, tidak
melihat kepada Aledya, saksi dan termasuk aku sebagai guru seni budaya.
Diluar kejadian itu, hebatnya saksi
Ayat, tidak seperti Ayat yang menahan marah. Saksi Ayat, terlihat santai saja.
Tidak ada beban psikologis, bahwa temannya yang diadukan sebagai orang jahat,
tidak berdampak bagi teman dekat Ayat. Apakah ini terjadi pada laki-laki
meskipun temannya dalam keadaan susah, menderita secara batin, si kawan
biasa-biasa saja?
“Pak,” Ayat memulai pernyataannya
tentang apa yang akan disampaikannya, Ayat sudah mulai lemas untuk menyampaikan
kalimat-kalimat berikutnya. Tidak seperti tadi yang suaranya lantang, mengaum
dalam ruangan ini. Mukanya pucat, tidak tampak wajah semangat, wajah percaya
diri, wajah sombong, yang hadir di mukanya makna penyesalan, entah menyesal
karena apa, namun wajah seperti ini, membuat aku nyaman melihatnya dari pada
saat Ayat melakukan pledoi, menyela pembicaraan Aledya tadi.
“Aledya selalu menulis kesalahan saya
dan teman-teman saya, teman-teman dia, tak pernah ditulisnya. Saya tak suka seperti
itu. Mana keadilan yang saya dapatkan pak?” ayat ingin mendapatkan keadilan
dari Aledya, namun sebagai guru, sudah beberapa kali aku memperhatikan gelagat
dan sikap Ayat, yang butuh perhatian dan setiap tindakannya seakan-akan seluruh jam pelajaran dijadikan miliknya,
mengorbankan waktu milik teman sekelasnya.
“Dia, selalu mengurus orang lain, pak.
Sibuk saja ngurus orang lain. Saya tidak suka diurus, apalagi diurus sama dia.”
Ayat menunjuk kepada Aledya. Menurut Ayat, mengurus orang lain adalah menulis
dan melaporkan nama teman-teman kelas yang bermasalah kepada guru. Ini sudah
pernah dikaji pakar psikologi perkembangan anak, Hudock membahas anak pada usia
belasan yang tidak mendapat perhatian dari rumah, atau memang ada genetika anak
yang menonjol dalam hal sikap dan latar belakang budaya, hingga mencari cara
mendapat perhatian dari teman-temannya, salah satunya dengan cara menyalahkan
kebenaran di sekelilingnya.
Ayat dibenarkan oleh dua teman saksi
dari pihaknya. Ayat masih melanjutkan, tentang inti persoalan yang diucapkannya
pada saat belajar seni budaya tadi. “dandel.”
“Kami tahu pak, dari FB bahwa Aledya
pernah pacaran dengan Lirsaf, pada waktu Aledya dan Lirsaf putus, Lirsaf
mengganti akun Fbnya menjadi dandel. Kalau kami sakit hati dengan Aledya, saya
selalu bilang dia “dandel”, itu aja tentang dandel, tak ada yang lain. Dia aja
yang terlalu sensitif, cengeng!”
“Terus, harapanmu apa kepada Aledya?”
aku mengulang pertanyaan yang sama kepada Ayat, seperti Aledya menjelaskan masalahnya
yang ditutup dengan harapannya kepada Ayat. Kepada Ayat, Aledya berharap menjadi
orang sopan,baik, tidak dendam kepada guru, mau piket, tertib di sekolah. Ayat
mempunyai pengaruh kepada teman-teman di kelas, teman-teman lain bisa
terpengaruh kepadanya jika ada yang diinginkan Ayat, misal Ayat mengajak
teman-temannya keluar dari kelas, tak usah buat tugas dari guru, teman-teman
sekelas pada umumnya mau saja diajak oleh Ayat. Menurut Aledya, Ayat punya
pengaruh kepada temannya, dan Aledya berharap agar Ayat menggunakan pengaruhnya
untuk kemajuan kelas dan teman-teman di kelas.
“Harapan saya kepada Aledya, tidak
mengurus orang lain dan tidak cengeng. Itu saja pak.” Ayat menyudahi ceritanya
sebagai epilog naskah drama sepanjang pelajaran seni budaya hingga menit 15.
Harapan tak lah sama seperti kenyataan, setidaknya harapan dapat memicu pikiran
positif seperti yang diajarkan Martin Seligman. Berharap berarti mengubah pola
pikir negatif menjadi positif. Harapan sebagai bentuk pikiran positif selalu
kuajarkan kepada siswa.
Aku jadi ingat ajaran pakar psikologi, Karen
Horney telah mengajarkan kita dendam timbul akibat benih-benih sakit hati
berkumpul dalam pirikan dan menggores hati, lukan nan dalam kemudian sikap
seseorang bergejolak balik menyakiti dalam bentuk yang sama atau dalam bentuk
lain. Ini pula kemudian terjadi kepada Ayat, yang dirugikan adalah orang
banyak, terutama teman sekelas dan guru-gurunya. Berharap Ayat menjadi orang
normal yang sempurna tentu sangat langka di antara kita. Setidaknya itu ucapan
Karen Horney. Jadi maklumi saja kejadian yang dialami Ayat, dan berusaha berharap
mendapatkan solusinya, dengan berbagai pendekatan yang lembut. Oh. Guru, berat
ya tugasmu..
“Bapak berharap, seperti kalian berdua
punya harapan, harapan bapak, kalian tetap kompak menjaga kemajuan kelas
kalian, saling tolong menolong, demikian pula tentang prestasi kalian, raih prestasi kalian, jangan masalah lalu
kalian, masalah dendam kalian diungkit kembali. Jangan dengki! Seperti Muhammad
mengajarkan kepada kita, bahwa janganlah dengki, karena dengki menghapuskan
kebaikan kita seperti api membakar kayu bakar. Jelas?” aku tutup sebuah harapan
dari kutipan Muhammad, tokoh nomor satu di dunia menurut tulisan Michael H.
Hart dari buku The 100 A Rangking Of The
Most Influential Person In History.
“Jelas pak, Ayat dan Aledya kompak
menjawab.
“Ayat dan saksimu, silakan masuk ke
kelas duluan.” Sementara Ayat, meninggalkan Aledya dan saksinya, kusisipkan
setumpuk kata, bahwa Aledya berupaya agar menerima keadaan teman, dan latih
mental agar tidak kalah dengan kerasnya kehidupan ini, di antaranya, kerasnya kehidupan dari sikap teman yang
tidak sopan yang ingin melekatkan sikap buruknya kepada Aledya dan
teman-temannya. Poinnya adalah Aledya harus bersabar dan tidak terlalu
memikirkan sikap jelek dari Ayat.
Aledya menerima saranku, mungkin saja
Aledya tidak menerima namun Aledya menampakkan muka menerima dengan cara
mengganggukkan kepalanya dan dari mukanya tampak wajah cerah tanda mengiyakan
kataku. Jauh dari lubuk hatinya tentu aku tak bisa menduga. Seperti apa yang
disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib, lidah orang yang berakal berada di
belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada dibelakang lidahnya. Tentu
Aledya sebagai siswa yang berakal mendahulukan hatinya sehingga kemudian cara
Aledya menerima saranku, kuharapkan sama dengan pemikiran Ali bin Abi Thalib, tentu
tak perlu pula aku buktikan anggukan Aledya di depanku.
Sekira tiga menit setelah kepergian Ayat
dari ruang laboratorium seni, Aledya bersama dua orang temannya meninggalkan
ruangan primadona ini. Ruangan yang selalu dikunjungi setiap hari tak kurang
dari 20 siswa mengunjungi ruangan ini, penarik perhatian dalam ruangan ini
adalah ada drumset, dua buah gitar, seperangkat alat kompang, meskipun belum
ada biola, trumpet, alat musik yang sering ditanyakan dan dibandingkan dengan
sekolah sebelah, namun ruangku dipastikan seperti gadis cantik yang memukau.
Bahkan saat siswa bertamu ke ruangan ini, membuat mereka penasaran ada apa
antara Ayat dan Aledya. Itu yang mereka tanyakan selain cara bermain drumset.
Saat melangkah keluar, Aledya memastikan
apakah pertemuan berikutnya membawa stick drum, segera kujawab bahwa sebelum
ada perubahan, stick drum tetap dibawa, karena stick drum dijadikan media
permainan. Aku memaklumi dari bacaan Hans Daeng yang mengatakan permainan
merupakan hal mutlak bagi anak-anak dalam perkembangan kepribadian anak.
Demikian pula para pakar mengatakan dalam otak anak, bagaimana bisa bermain.
Hingga konsep bermain harus kujadikan sebagai bagian untuk apersepsi dalam
belajar, sehingga anak-anak tidak kaget untuk memulai pembelajaran. Buktinya
apa yang kuceritakan tadi, bahwa anak-anak selalu tersenyum saat stick drum
dipukul bergantian antara tangan kanan dan kiri, antara pukulan lambat hingga
cepat. Semua itu permainan yang membuat mereka senang.
Subscribe to:
Posts (Atom)