Saturday, August 17, 2019

Orang Tua: Antara Melek Literasi dan Mendidik Sikap Anak

Ini kisah tentang guru dan kelasnya berujung perdebatan antara orang tua dan guru. Saya mendapatkan informasi yang sangat berguna dan ini terus berulang namun masih malu-malu dan agak susah diterapkan dengan kekompakan yang merata. apa itu? sabar ya... cerita ini alurnya bolak balik, bebas penulis lah, he he he.

Saya mendapatkan kesempatan ke Jakarta untuk mengikuti Bimbingan Teknik Penguatan Ekskul. kebetulan saya bidang seni budaya. Pada Waktu itu, 24-28 Juni 2019, di sebuah Hotel yang lantai berjumlah 25 lantai ke atas, disampaikan oleh panitia dan pemateri/nara sumber berbagai informasi. Kegiatan yang dibuat oleh KEMDIKBUD ini sesuatu yang asyik buat saya karena KEMDIKBUD telah mulai melirik bahwa guru dari daerah perlu diundang ke Jakarta mendapatkan pengalaman yang baru.

Ibuk Ninik dari KEMDIKBUD memberikan semangat bahwa setelah BIMTEK ini guru yang aktif akan di viralkan, ah.. jadi semangat nich.. semantara pemateri lain dari ahli psikologi membahas tentang "belajar dengan otak". yang paling diingat adalah otak buaya. Kenapa otak buaya, karena setiap manusia berpikir selalu memperhankan diri dan memakannya. Apa yang disampaikan pointnya adalah setiap orang tua khususnya guru harus paham tentang otak anak-anak, otak tak lagi kiri dan kanan, itulah temuan baru. tentang otak saya tak membahasnya di sini.

sementara pemateri lain Profesor, yang sudah keliling Indonesia melihat dari dekat anak-anak Indonesia dalam hal pendidikan mengatakan anak-anak sekaran wajib melek literasi yang hidup di zaman abad 21,  industri 4.0 menggunakan teknologi dalam literasi. literasi bukan sekedar membaca namun harus bisa menganalisis dan membuat.  medianya apa? jawabnya dianataranya smartphone. dari smartphone diharapkan anak-anak SMP pergaulannya sudah antar propinsi berbagi karya dari kemampuan literasinya. Ada karya dibagikan antar teman se-Indonesia. Kalau anak-anak SMA, diharapkan pergaulannya sudah Internasional. Berbagi karya dari kemampuan literasi sudah antar negara, lewat apa? lewat smartphone. Kesan yang saya peroleh dari Profesor, terasa bahwa smartphone itu bermanfaat, tinggal sebagai orang tua, guru dan orang dewasa harus mampu memberikan contoh bentuk literasi yang baik bagi anak-anak. Pointnya adalah anak-anak harus menggunakan media digital, smartphone, laptop dan lain-lain di sekolah dan tempat lainnya untuk menunjang kemampuan literasi anak-anak.

Nah... berdasarkan penyampaian pemateri bergelar profesor itu, sepulang dari Jakarta, saya aplikasikan di sekolah saya (upps. nama sekolah dan alamat dirahasiakan ya...). sudah dua minggu ini saya katakan kepada peserta didik untuk membawa smartphone pada saat belajar seni budaya, gunanya apa? sesuai anjuran prosesor tadi, smartphone bermanfaat di bidang seni budaya, banyak karya literasi, saya sederhanakan ya... banyak karya seni rupa di dunia, yang terbaru yang tentu saja buku yang dipakai di sekolah tertinggal selangkah. sekali lagi banyak karya seni lukis, terbaru di Instagram, di Youtube, blog, media massa online yang bisa diakses di smartphone yang bisa dijadikan kajian atau dianalisa sebagai bentuk literasi, yang kemudian dijadikan karya baru kreatif. Bahkan tentu kita tahu bahwa dengan smartphone bisa membuat karya literasi.

Masalahnya apa? ketika smartphone anak-anak dikelola dengan baik, dan ada anak-anak yang tak mau,  ini masalah sikap, dan masalah akhlak. saat saya kelola smartphone anak-anak,  ada tiga anak-anak tak mau mengumpulkan smartphone, mereka main game mobile legend, duduk bersila di lantai kelas. ini lah masalahnya. saya ambil, malah marah, tak mau diatur, padalah sudah tiga kali di minta agar smartphonenya di letakkan di satu meja yang telah ditentukan. Semua anak-anak mau mengumpulkan kecuali tiga orang siswa.

Smartphone tiga anak laki-laki yang sebenarnya kasus kenakalannya telah dimaafkan sekolah namun berulang. slalu berulang,  tak tak ada perubahan, padahal sejak kelas 7 dimaafkan namun kelakuan kenakalan remaja si anak terus berulang. Mungkin juga faktor sekolah kami tak tegas, jadi anak-anak seperti ini semakin kuat, tak mau mendengarkan kata-kata guru lagi. hingga kelas 9. aduh.. 'ajab'! guru-guru hanya bisa melihat mereka karena tak ada efek jera untuk mereka. Selalu dipanggil orang tuanya, malah, orang tua mereka menyalahkan  guru, yang katanya tak bisa mengajar anak-anaknya di sekolah. Singkat cerita smartphone tiga anak-anak bandel itu, saya tahan,  rencananya dua minggu, biar tau resiko kalau tak mau mendengarkan kata-kata guru. Agar kedepan menghargai sesama, agar tidak meremehkan orang lain, dan mau diperlakukan sama di kelas.

Tiga anak itu memaksa saya agar smartphonenya dikembalikan hari itu juga. maaf hari tempat nama tak saya sebutkan. yang jelas masih hangat. saya pulang dihalang-halangi, akhirnya berhasil melewati tangga, sampai di sepeda motor, masih dihalangi. waduh! ini anak sudah mulai kriminal. terpaksa dengan suara keras, saya bilang AWAS!!. akhirnya baru mereka menjauh dari sepeda motor.

besoknya orang tua mereka mendatangi saya, meminta smartphonenya dikembalikan. dari kejadian bersama orang tua mereka, saya berpendapat ada tiga tipe orang tua dari tiga anak-anak yang bandel itu. 1) tipe ragu literasi. mau mendengarkan kata saya sebagai guru dan mengikuti cara saya memberikan pelajaran pada anaknya, namun akhirnya terpengaruh oleh orang tua bertipe  tak peduli literasi. 2) tipe  tak peduli literasi. orang tua ini menyalahkan saya karena membolehkan anaknya membawa smartphone, dan smartphone yang ditahan harus dikembalikan karena ada keluarganya yang meninggal. penting smartphonenya dipegang anaknya. setelah di cek ternyata orang tua ini pembohong. 3) orang tua melek Literasi. nah ini dia orang tua yang mau bekerjasama dan saya sebut mau membantu guru dalam bertindak dan menerapkan penddidikan etika, moral, atau akhlak anak-anak. orang tua tipe ketiga ini membuat saya senang. terasa diri ini dihargai dan dianggap sebagai guru bagi anak-anak.

Harapan dari kejadian ini adalah orang tua harus mau bekerja sama dengan guru, agar misi dan visi untuk anak kedepan terwujud, jangan nampakkan kekuatan orang tua berlindung dengan banyak alasan hingga dipandang kuat dari pada guru. jadilah orang tua pembela pendidikan,  pendidikan bermula dari orang tua, jika orang tua terlibat dalam kesalahan yang dipupuk, maka anak-anak jadi korban rusaknya mental anak itu sendiri yang bersumber dari memupuk kesalahan di depan mata guru. Dari satu keluarga yang rusak, memancing tipe orang tua yang peragu hingga akhirnya banyak orang tua tertular penyakit mental berani karena salah. Aksi frontal yang dipertontonkan di depan guru. 

Jadilah orang tua pembela pendidikan ya...

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga


No comments:

Post a Comment